Dewan: E-Pokir adalah bagian sah dari sistem penganggaran, yang dilarang itu kalau anggota dewannya ikut mengarahkan
MERANGIN,DUASATU.NET- Ricuh saat rapat badan anggaran (Banggar) DPRD Merangin dalam pembahasan KUA-PPAS 2026 beberapa waktu lalu, ternyata bukan semata karena emosi yang meluap. Selain diwarnai pelemparan botol air mineral disertai kata-kata kasar dari Wakil Ketua II DPRD, terungkap ada sejumlah persoalan mendasar yang menjadi pemicu.
Informasi yang diperoleh menyebut, kericuhan dipicu karena pokok-pokok pikiran (E-Pokir) Anggota DPRD tidak diakomodir dalam rancangan KUA-PPAS.
Padahal, E-Pokir adalah mekanisme sah menurut undang-undang sebagai wadah penyaluran aspirasi masyarakat.
Selain itu, alokasi kegiatan dalam rancangan KUA-PPAS disebut menumpuk di Kecamatan Sungai Manau, kampung halaman bupati, sementara wilayah lain dengan kebutuhan pembangunan mendesak minim perhatian.
Polemik makin tajam ketika terungkap bupati melarang adanya proyek penunjukan langsung (PL), namun di sisi lain justru menitipkan dana sekitar Rp 23 miliar di bidang Cipta Karya Dinas PUPR. Dana itu sebagian besar berbentuk proyek PL.
Proses pembahasan juga kerap terganggu karena Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dinilai tidak koperatif. Beberapa kali rapat gagal dilaksanakan lantaran banyak anggota TAPD tidak hadir. Bahkan, beredar kabar TAPD enggan hadir ke ruang Banggar apabila Wakil Ketua II DPRD berada di dalam forum tersebut.
Sumber internal DPRD menyebutkan, sebenarnya kekesalan Wakil Ketua II bukan ditujukan kepada TAPD, melainkan kepada Bupati Merangin.
Namun, kemarahannya dilampiaskan kepada anggota TAPD yang hadir.
Seorang anggota DPRD lain menegaskan, E-Pokir adalah bagian sah dari sistem penganggaran dan wajib dimasukkan ke dalam mata anggaran.
“Dalam aturan ada empat mata anggaran yang sah: Musrenbang, usulan kepala daerah, rencana strategis OPD, dan E-Pokir DPRD. Semua harus masuk ke dalam mata anggaran. Yang dilarang itu kalau anggota dewan ikut mengarahkan atau mengerjakan proyeknya sendiri. Tapi kalau sekadar mengusulkan agar aspirasi rakyat masuk ke mata anggaran, itu hak kami dan kewajiban pemerintah untuk mengakomodir,” tegasnya.
Politisi tersebut juga menyinggung tanggung jawab moral wakil rakyat kepada masyarakat di daerah pemilihan masing-masing, seperti dikutip dari jambidaily.com
“Kami ini juga punya konstituen, punya dapil, suara masyarakat yang kami perjuangkan. Apa yang bisa kami jawab kalau masyarakat bertanya kenapa usulan mereka tidak ada dalam anggaran? Kalau begini, kami yang akan dituding tidak memperjuangkan aspirasi rakyat,” ujarnya dengan nada kecewa.
Gabungan persoalan inilah yang akhirnya memicu ledakan emosi di ruang Banggar hingga berujung ricuh dan viral di media sosial. Keretakan hubungan antara legislatif dan eksekutif membuat pembahasan KUA-PPAS 2026 terkatung-katung.
Jika tarik-menarik kepentingan ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin APBD 2026 gagal disahkan tepat waktu. Akibatnya, roda pembangunan Merangin akan tersendat, dan rakyatlah yang paling menanggung akibat dari perebutan kepentingan politik sempit di lingkaran kekuasaan. (REDAKSI)